Selasa, 19 Mei 2015

Testimoni


Hendi Hogia

Saya merupakan seorang tuna netra yang mengikuti pendidikan regular semenjak dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Meskipun memiliki keterbatasan secara fisik, dengan adanya program pendidikan inklusi membuat saya tetap bisa mengikuti proses pembelajaran seperti anak-anak lainnya. Secara umum dalam mengikuti proses pembelajaran di sekolah, saya merasa diperlakukan sama dengan siswa lainnya, kecuali hal-hal tertentu yang tidak mungkin dapat saya lakukan sendiri tanpa mengunakan alat bantu atau bantuan dari seseorang. Hal yang sulit dan tidak memungkinkan untuk saya lakukan sendiri tersebut di antaranya, membaca naskah soal ujian yang berbentuk hard copy, mengisi lembar kerja siswa, mengerjakan latihan di papan tulis, menggambar, menari, bermain bola dan sebagainya.

Pada awal mengikuti pendidikan inklusi, saya mengalami cukup banyak kendala di sekolah, karena saya merupakan siswa tuna netra pertama yang belajar di sekolah tersebut. Kendala yang saya alami itu bukanlah kesulitan dalam mengikuti atau memahami pelajaran, tapi lebih pada penolakan dan ketidaksiapan orang-orang menerima kondisi saya yang tuna netra. Mereka tidak yakin saya mampu bersaing dengan siswa lainnya, dan mereka juga beranggapan bahwa anak tuna netra seharusnya belajar di sekolah luar biasa, bukan di sekolah umum. Saya yakin bahwa kondisi inilah yang menyebabkan perlakuan diskriminatif dari pihak sekolah sering saya terima. Sampai sekarang saya sulit memahami, mengapa mereka yang sudah berpendidikan tinggi bersikap seperti itu, sedangkan para siswa yang masih anak-anak bisa memperlakukan dan menerima keberadaan saya dengan baik. Hal itu terbukti dari banyaknya teman-teman yang suka bermain dengan saya, baik tingkat SD, SMP, SMA, maupun di Perguruan Tinggi.

Sebetulnya perlakuan diskriminatif tidak mengurangi tekat saya untuk berprestasi, tapi saya justru menjadikan itu semua sebagai motivasi dan tantangan yang harus dilewati. Untuk membuktikan kalau saya layak dan mampu belajar di sekolah umum, saya selalu berupaya semaksimal mungkin meningkatkan kemampuan, baik secara akademik maupun non akademik. Selain itu, bantuan dari pihak SLB senter Payakumbuh dan SDLB Bukittinggi dalam meyakinkan guru-guru di sekolah, telah membuat perlakuan diskriminatif yang saya rasakan dari waktu ke waktu makin berkurang, bahkan semenjak duduk di bangku SMP hingga sekarang, saya merasa diperlakukan sama seperti siswa lainnya. Misalnya, ketika saya melakukan kesalahan, saya juga diberi hukuman seperti siswa lainnya.

Sebagai hasil usaha keras saya dalam belajar, saya berhasil selalu masuk peringkat sepuluh besar dari SD sampai SMA, bahkan waktu SMA saya selalu masuk peringkat tiga besar di kelas dan Alhamdullilah saya juga mencapai juara umum sebannyak tiga kali di SMA Negeri 2 Bukittinggi. Di samping prestasi secara akademik, saya juga sering diikutkan berbagai perlombaan, baik perlombaan khusus disabilitas, maupun perlombaan untuk regular, misalnya cerdas cermat, catur, music dan sebagainya.

Semua prestasi yang saya peroleh tersebut tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, baik keluarga, guru-guru, teman-teman, alumni sekolah, SLB Center Payakumbuh, SDLB Bukittinggi dan sebagainya. Dukungan tersebut ada yang berupa pemberian beasiswa, fasilitas dan  dukungan semangat.

Kemampuan mengoperasikan teknologi komputer juga sangat membantu saya dalam mengikuti pelajaran di sekolah, sebab dengan kemampuan mengoperasikan komputer tersebut, saya bisa mencatat dan mengerjakan sebagian besar tugas tanpa melibatkan orang lain. Selain itu, tidak adanya GPK sebagai guru khusus yang ditunjuk untuk membantu saya di sekolah, membuat saya lebih mandiri, karena saya terbiasa mengkomunikasikan dan menyelesaikan masalah-masalah yang saya hadapi sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar