Hendi Hogia
Saya merupakan seorang tuna netra yang mengikuti pendidikan regular semenjak dari tingkat
sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Meskipun memiliki keterbatasan secara fisik, dengan
adanya
program pendidikan inklusi membuat saya tetap bisa mengikuti proses pembelajaran seperti anak-anak lainnya. Secara
umum dalam mengikuti proses pembelajaran di sekolah, saya
merasa diperlakukan sama dengan siswa
lainnya, kecuali hal-hal tertentu yang tidak mungkin
dapat saya lakukan sendiri tanpa
mengunakan alat bantu atau
bantuan dari seseorang. Hal yang
sulit dan tidak memungkinkan untuk saya lakukan sendiri tersebut
di antaranya,
membaca naskah
soal ujian yang berbentuk hard copy, mengisi lembar kerja siswa, mengerjakan latihan di papan
tulis, menggambar,
menari, bermain bola dan
sebagainya.
Pada
awal mengikuti pendidikan inklusi, saya mengalami cukup banyak kendala di sekolah, karena saya merupakan siswa tuna netra pertama yang belajar
di sekolah tersebut. Kendala yang saya alami itu bukanlah kesulitan dalam mengikuti atau
memahami pelajaran, tapi lebih pada
penolakan dan ketidaksiapan orang-orang
menerima kondisi saya yang
tuna
netra. Mereka tidak yakin saya mampu bersaing dengan siswa lainnya, dan mereka juga beranggapan bahwa anak tuna netra seharusnya belajar di sekolah luar biasa, bukan di sekolah umum. Saya yakin
bahwa kondisi inilah yang menyebabkan perlakuan diskriminatif dari pihak sekolah sering saya terima. Sampai sekarang saya sulit memahami, mengapa mereka yang sudah berpendidikan tinggi bersikap seperti itu, sedangkan para siswa yang masih anak-anak bisa memperlakukan dan menerima keberadaan saya dengan baik. Hal itu terbukti dari banyaknya
teman-teman yang suka
bermain dengan saya,
baik tingkat SD,
SMP, SMA, maupun di Perguruan Tinggi.
Sebetulnya perlakuan diskriminatif tidak mengurangi tekat saya untuk berprestasi, tapi saya justru
menjadikan itu semua sebagai motivasi dan tantangan yang
harus dilewati. Untuk membuktikan kalau saya layak dan mampu belajar di sekolah
umum, saya selalu berupaya semaksimal mungkin
meningkatkan kemampuan, baik
secara akademik maupun
non akademik. Selain
itu, bantuan dari pihak SLB senter Payakumbuh dan SDLB Bukittinggi dalam meyakinkan guru-guru di sekolah, telah membuat perlakuan diskriminatif yang saya rasakan dari
waktu ke waktu makin berkurang, bahkan semenjak
duduk di bangku SMP hingga
sekarang, saya merasa diperlakukan sama seperti siswa lainnya. Misalnya, ketika saya melakukan kesalahan, saya juga diberi hukuman
seperti siswa lainnya.
Sebagai hasil usaha
keras saya dalam belajar,
saya berhasil selalu masuk
peringkat sepuluh besar dari SD sampai SMA, bahkan waktu SMA saya selalu masuk peringkat tiga besar
di kelas dan
Alhamdullilah saya juga mencapai juara umum sebannyak tiga kali di SMA Negeri 2 Bukittinggi.
Di samping prestasi secara akademik, saya juga sering diikutkan berbagai perlombaan, baik
perlombaan khusus disabilitas, maupun perlombaan untuk
regular, misalnya cerdas cermat,
catur,
music dan sebagainya.
Semua prestasi yang
saya peroleh tersebut tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, baik
keluarga, guru-guru, teman-teman, alumni sekolah, SLB Center Payakumbuh, SDLB Bukittinggi dan sebagainya. Dukungan tersebut ada
yang berupa pemberian beasiswa, fasilitas dan
dukungan semangat.
Kemampuan mengoperasikan teknologi komputer juga sangat membantu saya dalam mengikuti pelajaran di sekolah,
sebab dengan kemampuan mengoperasikan komputer
tersebut, saya bisa
mencatat dan mengerjakan sebagian besar tugas tanpa melibatkan orang
lain. Selain itu,
tidak
adanya GPK sebagai guru khusus yang ditunjuk untuk membantu saya di
sekolah, membuat saya
lebih mandiri, karena
saya terbiasa mengkomunikasikan dan menyelesaikan masalah-masalah
yang saya hadapi sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar